Jumat, 25 Juni 2010

Yang Terlupa Dari Tahun Lalu


Telah berlalu satu tahun penuh dari umur kita, ia berlepas dengan membawa detik-detiknya, menit-menitnya, jam-jamnya dan hari-harinya. Ia berlalu seakan-akan hanya satu bulan (saja). Berlalu dengan manis dan pahitnya, gembira sedihnya, suka dukanya dan kelezatan serta penderitaannya. Banyak orang telah bermain-main di dalamnya, banyak pula orang-orang yang terlena oleh kelezatan berbagai syahwat yang ada di dalamnya. Sementara itu ada pula orang-orang shalih yang telah berbuat baik di dalamnya dan banyak pula para amilin yang ikhlas dalam amalnya. Masing-masing kelompok ini nantinya akan melihat miliknya sendiri pada hari kiamat, sebagaimana Firman Allah SWT, “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya yang paling sempurna” (An-Najm:39-41)

Satu tahun telah berlalu dengan seluruh isyarat penyadaran dan peringatan yang terkandung di dalamnya;
• Ada lembaran-lembaran evaluasi, di mana setiap hari kita merobek-robeknya
• Ada isyarat penyadaran yang berupa detak-detak jam yang berkata kepada kita, “Sesungguhnya kehidupan itu adalah kumpulan menit dan detik”.
• Ada isyarat penyadaran yang berupa bulan sabit di awal bulan, lalu tumbuh sempurna menjadi purnama, disusul mengecil dan mengerucut sampai akhirnya hilang.
• Ada isyarat penyadaran yang berupa pergantian berbagai musim dengan seluruh keberagamannya. Di dalamnya terdapat banyak ibrah bagi yang mengambil pelajaran.
Semua isyarat penyadaran ini berkata kepada kita, “Amal shalih apa yang sudah kita perbuat dalam tahun kita yang kita simpan untuk kepentingan hari perjumpaan (kiamat) nanti?”
Kekasih kita; Muhammad SAW, mengingatkan kita untuk melakukan waqfah (perenungan) di hadapan Allah SWT, “Tidak bergeser dua telapak kaki manusia pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara; tentang umurnya dihabisnya dalam hal apa? Tentang masa mudanya dihabiskan dalam hal apa? Tentang hartanya dari mana didapatkan dan ke mana dibelanjakan dan tentang ilmunya apa yang sudah ia perbuat dengannya”. (Hadits shahih diriwayatkan oleh At-Tirmidzi: 2417)

Allah SWT akan bertanya kepada kita pada hari Mahsyar tentang umur kita .. adakah umur itu kita habiskan untuk berkhidmah kepada agama-Nya? Ataukah kita habiskan untuk santai-santai, lalai dan perdebatan tiada guna?
Allah SWT akan bertanya kepada kita tentang dakwah kita .. adakah kita termasuk para aktifis dan penyeru kepadanya? .. ataukah kita termasuk musyakkikin (orang-orang yang menanamkan keraguan) kepada dakwah dan tha’inin (tukang mencela) para qiyadah-nya?
Allah SWT akan bertanya kepada kita tentang fisik kita .. adakah kita habiskan untuk taat, ibadah dan ber-harakah membawa agama-Nya? Ataukah kita habiskan dalam lahwun (hal-hal tiada guna) dan la’ib (permainan)?

Satu tahun penuh telah berlalu, berapa banyak perbuatan yang telah kita lupakan? Namun, di sisi Allah SWT semuanya tersimpan, pada lembaran-lembaran amal bagaikan aset tidak terlewatkan, dan besok, semuanya akan diserah terimakan kepada kita secara utuh. “kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizhalimi (dirugikan)”. Q.S. Al-Baqarah: 281

Renungan Bersama Diri Sendiri
Peristiwa alami penting terjadi saat matahari berpisah dengan kita di hari terakhir bulan Dzul Hijjah 1429 H. Ini berarti terbukanya gerbang tahun hijriyah baru 1430 H. peristiwa ini menuntut kita melakukan perenungan, di mana seorang akh melakukan perenungan terhadap dirinya sendiri, perenungan yang jadd (serius) dan shidq (sejujurnya), sebab, shidq inilah yang keselamatan, dan hendaklah seorang akh memulai muhasabatun nafs (audit diri sendiri), sebab muhasabatun nafs ini lebih berbelas kasihan daripada hari hisab, dan hendaklah masing-masing kita bertanya kepada diri sendiri. Mengingat bahwa hisab itu mengaudit hal seberat dzarrah, setiap kosa kata dan apa saja yang tergerak di dalam hati, maka kenapa saya tidak meng-hisab diri sendiri terhadap segala sesuatu?

Sebuah kalimat Al-Hasan Al-Bashri perlu kita renungkan, “Wahai Ibnu Adam, setiap pagi atau sore engkau mencari keuntungan, maka, hendaklah concern-mu tertuju kepada dirimu sendiri, sebab, engkau tidak akan mendapatkan keuntungan yang seperti dirimu sendiri itu selamanya”.
Karena inilah, bersama akhir tahun yang lalu dan awal tahun ini, kita memerlukan satu perenungan muhasabah. Ibnul Qayyim – rahimahullah- berkata, “Muhasabah adalah seorang hamba membedakan mana perkara-perkara yang menguntungkannya dan mana pula perkara-perkara yang merugikannya, lalu ia mempertahankan perkara-perkara yang menguntungkan dan menutup perkara-perkara yang merugikan, sebab ia akan melakukan perjalanan yang tidak akan kembali lagi”.

Ini adalah perenungan di mana kita menjawab banyak pertanyaan: Bagaimana kita menghabiskan tahun lalu kita? Dalam hal apa saja kita pergunakan waktu-waktu kita? Bagaimana hubungan antara kita dengan Tuhan kita?

Adakah kita melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya?
Adakah kita telah bertaqwa kepada Allah SWT dalam urusan rumah dan masyarakat kita? Adakah telah muraqabatullah (merasa diawasi Allah SWT) dalam setiap amal dan urusan kita? Adakah kita telah ikhlas dalam seluruh amal kita?
Adakah kita telah berfikir untuk bersungguh-sungguh dalam seluruh gerak kita?
Adakah kita telah meninggikan panji umat kita?
Apa yang telah kita berikan untuk agama ini? Berapa banyak kita telah berikan waktu kita untuknya?

Berapa banyak orang yang kita cintai karena Allah dan karena dakwah-Nya?
Adakah kita telah membela dakwah dan qiyadah kita? Ataukah kita malah menjadi penolong media dan orang lain mengesampingkan dakwah dan qiyadah kita? Adakah harakah (gerakan), amal, ucapan dan tulisan kita telah indhibath dengan dhawabith da’wah?
Berapa kali kita menolong saudara-saudara kita yang diperlemah di muka bumi dan juga mereka yang dipenjara secara zhalim dan berdasar kepalsuan?
Berapa banyak kita komitmen menjalankan shalat secara berjamaah di masjid?
Berapa jatah kitabullah dari bacaan dan tadabbur kita? … berapa kali kita mengkhatamkan Al-Qur’an pada setiap bulannya? .. ataukah kita tidak membacanya kecuali pada bulan Ramadhan?! .. adakah sepanjang tahun lalu ada bagian dari Al-Qur’an yang kita hafal?
Ataukah concern kita di dunia ini hanya sebatas sesuap nasi yang kita makan? Atau seteguk air yang kita minum? Atau pakaian yang kita sandang, atau kedudukan yang kita cari, atau jabatan yang kita banggakan?

Adakah concern kita hanyalah menghabiskan waktu dalam lahw, baik diperbolehkan ataupun yang tidak diperbolehkan? Ataukah concern kita adalah urusan-urusan tinggi dan derajat mulia?
Adakah kita termasuk yang mengatakan sesuatu yang tidak kita lakukan?
Ataukah kita termasuk orang yang menjadikan dirinya sebagai teladan? Apakah … apakah … ?
Apa keinginan kita dengan semua itu? Apakah semua yang kita lakukan kita maksudkan untuk Allah SWT dan hari akhirat? Ataukah kita maksudkan untuk citra, image dan mengejar pujian manusia?

Ini adalah perenungan dalam rangka melakukan koreksi terhadap berbagai hisab, melakukan perubahan terhadap al-masar (jalan yang ditempuh), memperbaiki niat, memperbaharui janji dan mengasah cita-cita

Kepada-Nya Semuanya Kembali
Saudaraku tercinta, umur seseorang memiliki dua ujung: ujung hari kelahirannya dan ujung hari meninggalnya; setiap kali satu tahun berlalu, seseorang itu semakin menjauh dari hari kelahirannya serta semakin mendekat kepada hari kembalinya dia kepada Tuhannya. Semenjak seseorang terlahir ke dunia, semenjak itu pula ia mulai menghancurkan umurnya dan mengurangi ajalnya .. demikianlah umurku dan umurmu wahai saudaraku
Inilah kalimat yang diucapkan Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai manusia, engkau tidak lain adalah kumpulan hari-hari, setiap kali ada satu hari berlalu, berarti sebagian dari dirimu berlalu pula” .. hari-hari itu pasti akan kembali kepada Allah SWT, berdiri di hadapan-Nya, menghadapi hisan dan pertanyaan, lalu, apa dayamu pada hari itu?!

Karena inilah Ibnu Umar RA menasihati kita dan berkata, “Jika engkau berada di waktu sore, janganlah menunggu pagi dan jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu sore, dan optimalkan masa sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu”.
Saudaraku tercinta, jika engkau terkena futur dan kelemahan, serta jiwamu merasa berat untuk taat kepada Allah SWT, maka ingatlah suatu hari di mana engkau berdiri di hadapan Allah SWT, di hari itu, tidak ada sesuatu yang bermanfaat bagimu selain amal shalih, dan ingatlah wasiat Al-Fudhail –rahimahullah- , “Berbuat baiklah pada sisa umurmu, niscaya yang telah lalu darimu akan diampuni, sebab, jika engkau berbuat buruk pada sisa umurmu, niscaya yang telah lalu darimu dan yang tersisa akan dicatat sebagai dosa, padahal, amal itu bergantung kepada akhirnya”..

Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata, “Wahai orang yang bergembira atas seringnya tahun demi tahun berlalu padanya, padahal, ia sedang bergembira atas berkurangnya umurnya”.
Seorang salaf berkata: Bagaimana seseorang bergembira di dunia ini terhadap hari-harinya yang menghancurkan bulannya, dan bulannya menghancurkan tahunnya dan tahunnya menghancurkan umurnya? Bagaimana mungkin seseorang bergembira sementara umurnya menuntunnya kepada ajalnya, dan hidupnya menuntunnya kepada kematiannya?!”.

Hasil Panen
Saudaraku tercinta, Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata, “Tahun itu ibarat pohon, bulan sebagai dahannya, hari sebagai rantingnya, jam sebagai daunnya dan nafas sebagai buahnya, maka, siapa saja yang nafasnya dipergunakan dalam taat kepada Allah, maka buah dari pohon itu akan menjadi baik, dan siapa saja yang nafasnya dipergunakan dalam maksiat, maka buahnya akan menjadi buruk. Panen dari buah itu akan dipetik pada hari kiamat, dan saat panen terjadi, buah yang manis atau pahit akan menjadi jelas”.

Telah Berlalu dari Tahunmu
1. Ada 1700 peluang kewajiban shalat berjamaah. Ia sama dengan 6018 rakaat. Ada peluang 5300 rakaat sunnat rawatib dan witir, ada peluang 420 rakaat qiyamullail, tarawih dan tahajjud..
Berapa banyak peluang di atas yang kamu lakukan secara berjamaah? Berapa kali anda shalat berada di barisan bertama? Seberapa besar tingkat kekhusyuanmu dalam shalat-shalat itu? Adakah semua peluang di atas mendekatkanmu kepada Allah SWT?
2. Ada peluang 92 hari untuk berpuasa Senin dan Kamis, 30 hari peluang berpuasa ayyamul bidh, 9 hari peluang berpuasa Dzul Hijjah, 1 hari puasa Tasu’a dan 1 hari Asyura
Berapa hari Anda telah isi peluang-peluang itu dengan berpuasa? Berapa banyak Anda telah memanfaatkan fadhilah-nya?
Ingatlah bahwa kekasih kita, yaitu Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada satu hari di mana seseorang mengisinya dengan berpuasa fi sabilillah kecuali dengan satu hari itu Allah SWT akan menjauhkan wajahnya dari neraka sebanyak 70 tahun”. (HR. Bukhari: 2840 dan Muslim:1153)
3. Ada peluang 12 kali khatam Al-Qur’an, adakah engkau telah menyempurnakannya? Dan melakukan tadabbur terhadapnya? Sedangkan satu kali khatam sama dengan 305 juta kebaikan!
4. Ada peluang 130.000 sedekah wajib yang dapat engkau pergunakan, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Setiap ruas manusia ada peluang sedekah, setiap hari di mana matahari terbit ..”. (HR Bukhari: 2707, 2891, 2989, Muslim:720, 1009)
Adakah engkau telah menunaikan dan memenuhinya? Atau mengupayakannya semaksimal mungkin atau mendekati maksimal? Atau adakah engkau telah bertekad dan berniat?
5. Dzikrullah, “Beruntung sekali bagi seseorang yang menemukan banyak istighfar dalam lembaran amalnya”.
6. Ada peluang 50 liqa’ tarbawi yang bersifat pekanan, yang dengan liqa’ ini engkau dapat merealisasikan prinsip, “mari berkumpul untuk beriman sesaat”, belum lagi liqaat besar .. seberapa sering engkau komitmen dengannya? Hal-hal positif apa saja yang engkau berikan kepada saudara-saudaramu dan kepada dakwahmu dalam liqa’-liqa’ itu?
7. Ada 350 hari di mana engkau dapat melakukan da’wah ilallah, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, sementara kekasihmu, yaitu Rasulullah SAW menjelaskan keutamaannya kepadamu, “Siapa yang menyeru kepada hidayah, maka untuknya pahala hidayah itu dan pahala orang-orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat”. (HR Muslim [2674]). Beliau SAW juga bersabda, “Sungguh, jika Allah SWT memberi hidayah kepada satu orang laki-laki karena kamu, maka itu lebih baik bagimu daripada dunia dengan segala isinya” (HR Ibnu Mubarak dalam kitab Az-Zuhd wa ar-Raqaiq:1354)
8. Ada peluang 50 pekan di mana engkau dapat merealisasikan silaturahim dan mengunjungi kerabat, birrul walidain, mengunjungi orang sakit dan memenuhi berbagai hajat kaum muslimin …

Berapa banyak engkau dapat menemukan amal-amal ini? .. berapa banyak amal-amal ini yang engkau lakukan secara ikhlas karena Allah dan tidak tercampur oleh syahwat nafsu atau kompetisi dengan orang lain, atau mengejar popularitas atau gegap gempitanya media, atau ikut-ikutan kepada sufaha (orang-orang yang bodoh dan tidak memperhitungkan akhirat)?
Kemudian, coba kamu lihat amal yang sudah kamu lakukan, berapa besar size (ukuran)-nya? Berapa berat timbangannya, berapa banyak pengaruhnya?
Bandingkan antara kebaikan dan keburukanmu? Lalu lihat, berapa banyak kebaikan yang kamu tinggalkan dan berapa pula yang kamu dapatkan?
Ingatlah kepada ucapan Ibnu Mas’ud RA, “Saya tidak pernah menyesali sesuatu yang seperti penyesalanku kepada suatu hari di mana matahari terbenam yang menjadi pertanda ajalku berkurang sementara amalku tidak bertambah”?!

oleh : akur wijayadi, Ketua Tutorial PAI FISE UNY

Kamis, 17 Juni 2010

Winner !

Salah satu episode menegangkan dalam liga champion 2010. Sang fenomenal Barcelona, yang tahun lalu mampu merebut gelar juara enam sekaligus, ternyata tak berdaya dihadapan inter milan. Tak pernah ada yang menduga bahwa juara bertahan yang produktifitas penyerangannya nomor wahid seantero Eropa akan takluk oleh ‘catenaccio’. Dua kali pertandingan Messi tak mampu menunjukkan keajaibannya. Kesempurnaan penguasaan bola oleh Barcelona, bahkan bisa dibilang permainan hanya berlangsung setengah lapangan, menjadi tak berarti. Inter sempurna menciptakan benteng kokoh yang tak tertembus, bahkan counter attack mereka malah kadang kala membahayakan kiper Barcelona. Dan berujung pada tiga gol. Kemenangan satu kosong di Nou Camp hanya seperti angin lalu bagi Inter Milan, karena hal itu pun tak mampu menyelematkan Barca untuk melaju ke Bernabeu. Malam itu internisti berpesta di Spanyol.

Ah, kawan…kalau kita melihat sebuah pertandingan hanya dari menang dan kalah tentu akan mudah kita merasakan kekecewaan. Karena kedua hal itu merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah kompetisi. Menang kalah hanyalah hal biasa. Tapi, bukankah ada yang lebih bermakna dari itu. Ada yang lebih berarti dari sekedar ‘memenangkan’ pertandingan. Dan bahkan ada yang lebih menyakitkan dari sekedar ‘menangisi’ kekalahan. Kemenangan sejati ialah kemenangan atas diri. Dan kekalahan terburuk adalah kalah dari diri sendiri.

Kemenangan yang didapatkan dari mengalahkan orang lain pada dasarnya adalah kemampuan kita untuk mengalahkan ketakutan, rasa malas, keengganan, serta beban yang ada di pundak atau bahkan keangkuhan yang terkadang menimpa kita, kala berhadapan dengan lawan tanding. Kemenangan yang kita dapatkan adalah kemampuan untuk melakukan usaha lebih besar dari orang lain.

Kawan,
Usaha atau bahkan jerih payah kita untuk mengalahkan orang lain sungguh akan terasa hambar dan hampa, ketika kita berangkat dari sebuah rasa yang bernama iri. Rasa ini akan bermertamorfosis di dalam hati kita menjadi dengki, dan pada akkhirnya memunculkan dendam. Rasa ini kemudian membuat seseorang menjadi buta terhadap sikap kejujuran. Menjadi tuli terhadap nasehat kebaikan. Menjadi lumpuh pada sikap menolong orang lain. Lantas membuat hati yang tadinya lembut bagaikan sutera, menjadi sekeras karang. Merugilah orang yang menanam iri di hatinya. Maka, keberhasilan sejati haruslah memberikan kebahagiaan, yang mustahil diraih dengan cara ternoda.

Kawan,
Dalam setiap lembar kehidupan kita akan selalu dijumpai banyak bentuk kompetisi. Mulai dari perebutan tempat duduk di ruang kelas. Perebutan antrian makan siang, perebutan membeli produk elektronik baru atau bahkan perebutan pasangan hidup semu alias pacar. Bukan berarti kita tak boleh untuk menjadi sang juara, hal itu sah saja untuk memacu semangat kita dalam berprestasi. Namun hendaklah kita berangkat dari niat yang tepat. Bukan karena orang lain kita menjadi juara. Bukan karena kita berhasil mengalahkan ribuan orang untuk menjadi yang pertama. Bukan karena itu.

Anugerah yang kita punya sesungguhnya hanya berasal dari Tuhan. Kehormatan yang kita emban sesungguhnya hanya dititipkan oleh Tuhan. Yang mungkin setiap saat, Ia bisa saja mencabutnya. Maka kesadaran seperti ini akan menjauhkan kita dari keangkuhan dan melahirkan kerendahan hati.

Kawan,
Sekali lagi kita tekankan dalam benak kita, bahwa kita ingin menjadi juara bukan karena nafsu untuk mengalahkan orang lain. Tetapi karena Allah lebih mencintai hambaNya yang berprestasi. Kita bertanding bukan dengan orang lain, tetapi dengan diri kita sendiri. Keinginan untuk mengalahkan orang lain, adalah awal dari kekalahan kita.

Oleh karena itulah, sesungguhnya para pemain Inter tidak mengalahkan Barcelona, tetapi mengalahkan rasa takut mereka terhadap tim terbaik di Eropa. Dengan itulah mereka mampu bertahan 180 menit dari gempuran yang datang bertubi-tubi.

oleh : triyanto puspito nugroho/mekel,

Selasa, 15 Juni 2010

Empat Lilin



Ada 4 lilin yang menyala, Sedikit demi sedikit habis meleleh. Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka Yang pertama berkata: “Aku adalah Damai.” “Namun manusia tak mampu menjagaku: maka lebih baik aku mematikan diriku saja!” Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam.

Yang kedua berkata: “Aku adalah Iman.” “Sayang aku tak berguna lagi.” “Manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.

Dengan sedih giliran Lilin ketiga bicara: “Aku adalah Cinta.” “Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala.” “Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna.” “Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya.” Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin ketiga.

Tanpa terduga…
Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga Lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: “Ekh apa yang terjadi?? Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!” Lalu ia mengangis tersedu-sedu. Lalu dengan terharu Lilin keempat berkata: Jangan takut, Janganlah menangis, selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya: “Akulah HARAPAN.” Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga Lilin lainnya.

Apa yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita….dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang anak tersebut, yang dalam situasi apapun mampu menghidupkan kembali Iman, Damai, Cinta dengan HARAPAN-nya!

oleh : Putut, Tutor FISE UNY

Selasa, 08 Juni 2010

Hujan dan Hati Kita


Aktifitasku tiap sore ialah berdiri di samping jendela rumahku dan menyaksikan jutaan tetesan air yang turun ke bumi. Ya, hampir tiap hari hujan turun, padahal bulan ini seharusnya sudah memasuki musim kemarau. Mungkin ini akibat dari - yang sering dikatakan oleh orang-orang dengan rentetan gelar dibelakangnya- sebuah fenomena Global Warming. Aku ingat bahwa salah satu ciri utama dari global warming ialah perbedaan musim yang cukup ekstrem. Bisa saja di tempat aku berdiri ini hujan turun dengan derasnya, tetapi bisa jadi jauh di seberang sedang kering kerontang yang menerpa. Ini semua adalah akibat ulah manusia yang tidak menghargai keseimbangan ekosistem. Dengan seenaknya orang menebangi ribuan pohon, membuang sampah sembarangan, dan memakai bahan bakar yang boros. Akibat menebang pohon maka akan terjadi run off yang besar di permukaan tanah, sehingga menimbulkan banjir. Akibat membuang sampah sembarangan maka terjadi penyumbatan di saluran pembuangan dan menimbulkan banjir pula. Rumit sekali bagiku mengaitkan antara aktifitas manusia dengan fenomena alam yang sederhana, yang sering kita sebut hujan ini.

Bagiku hujan hanya sebuah persoalan sederhana. Bagaimana alam mengajarkan kepada kita tentang menyuburkan sesuatu yang gersang. Menghidupkan sesuatu yang mati. Kita lihat dari proses hujan itu sendiri. Air hujan berasal dari penguapan air laut. Uap-uap air ini kemudian berkumpul di titik ketinggian tertentu dan mengalami –istilahnya orang pinter- kondensasi, yang pada akhirnya kita menyebutkan sebagai gumpalan awan. Awan-awan ini kemudian terbawa angin. Terbang sekehendak hati. Apabila awan-awan ini merasakan beban yang terlalu berat karena membawa sekian puluh ribu liter air, maka awan ini menjatuhkannya dalam bentuk butiran-butiran. Hal inilah yang kemudian dikenal orang sebagai peristiwa hujan.

Uniknya, karena peristiwa kimia tertentu, air laut yang tadinya asin berubah menjadi tawar dengan hujan. Dan dengan air inilah, hujan menghidupkan kembali tanah-tanah gersang disebuah tempat nun jauh disana. Tanah-tanah itu bisa kembali ditanami dengan berbagai macam tanaman yang dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Hujan ini pulalah yang menyuplai kebutuhan air sebagian besar tanaman dan tumbuhan yang ada di bumi ini. Ya, begitulah hujan memainkan peranannya.

Sebagai manusia pun maka terkadang kita juga memerlukan hujan dalam diri kita. Hujan yang akan membuat hati yang gersang menjadi hidup kembali. Hujan yang akan membuat kesejukan pada hati yang kering. Hujan yang akan menawarkan racun-racun yang bersemayam dalam hati kita. Hujan dalam diri manusia kita mengenalnya sebagai air mata. Dan proses munculnya air mata inilah yang disebut dengan menangis.

Terkadang kita seringkali menganggap bahwa menangis adalah symbol dari kelemahan seseorang atau symbol dari sebuah kesedihan. Orang yang menangis seringkali kita anggap bahwa mereka bukan orang-orang yang tangguh, bukan seorang fighter sejati. Maka yang sering kita lakukan ketika melihat orang sedang menangis ialah membujuknya untuk berhenti. Yang faktanya malah tidak pernah begitu berhasil. Sekali-kali biarkanlah orang itu menangis, atau kalau kita bisa maka ikutlah menangis dengannya. Karena hanya dengan air mata lah hati kita layaknya tanah yang mendapatkan siraman hujan. Dari gersang menjadi subur. Dari kering menjadi sejuk. Dari mati menjadi hidup.

Menangis yang paling utama tidak hanya saja ketika kita mendapatkan sebuah musibah (sebuah alasan yang sering sekali dipakai orang untuk menangis). Bisa saja kita menangis karena mendapatkan sebuah kebahagiaan, atau menangis karena akan mengahadapi tantangan dan kehidupan baru. Dan menangis yang paling utama ialah menangisi dosa-dosa kita. Menangisi setiap detik dalam hidup ini yang berisi kesalahan. Menangisi setiap detik yang terbuang percuma. Mata yang mengeluakan air mata karena takut pada Allah itulah yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka. Wallahu’alam.

Oleh : Triyanto P. Nugroho

Rabu, 02 Juni 2010

Percayakah dengan penglihatan kita..??


Mungkin kita terlalu sering menilai sesuatu hanya berdasarkan kepada penglihatan mata kita saja. Itulah pelajaran berharga yang saya dapatkan, ketika saya melihat seorang ibu berpenampilan lusuh singgah di masjid. Jika kita dilihat secara sepintas maka akan muncul dalam persepsi kita "tukang minta-minta, terbelakang, hanya mampir tidur, dan lain sebagainya (pokoknya yang jelek2 lah)."
Tapi, ternyata persepsi yang hanya berasal dari penglihatan sepintas ini kemudian terbalik 180 derajat, ketika saya mendengar suara menggetarkan ibu tersebut sedang membaca ayat-ayat suci al Quran. Saya jadi malu dengan diri sendiri...


Kita semua percaya bahwa ada hal-hal di dunia ini yang abstrak dan sebagian lagi nyata, tetapi pada dasarnya semua hal tersebut ialah simbol yang tunduk pada interpretasi kita. Dalam sebuah buku, saya dapati pernyataan bahwa al Quran menegaskan pula bahwa realitas dari sesuatu bukanlah apa yang kita lihat, tetapi apa yang kita persepsi. Maka kata "mempersepsi" mempunyai maksud yang jauh dari sekedar kata "melihat". dalam surat al Hajj : 46 disebutkan, " maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. 22:46)"

Penglihatan kita secara normal tergantung pada kerja mata, obyek, dan pencahayaan. Maka, tidak heran apabila kita cenderung mempercayai apa yang kita lain. Hal ini terbukti dengan pemakaian kosa kata sehari-hari kita, antara lain ; "menurut pandangan saya", "saksi mata", pengamat", dll".

Oleh karena itulah, kita perlu untuk "melihat" dibalik apa yang sekedar kita lihat. Bukan terjebak pada hal-hal yang bersifat "nyata", karena bisa jadi mata kita malah menipu kita. Seperti kasus saya di atas. Lantas pertanyaannya ialah, saran apa yang paling tepat untuk melakukan persepsi terhadap sesuatu?. Al Quran telah menjelaskan agar kita menggunakan HATI (qolbu). Hati untuk "melihat yang benar-benar ada". Dan jangan mudah percaya dengan mata kita, apalagi mata orang lain..he,

Oleh : triyanto p. nugroho, staf KPT Tutorial FISE UNY

Suhaib Ar-Rumi; Sosok Penakluk Negeri Romawi Nun Pemberani, Pintar dan Ikhlas Dalam Bekerja

Beliau adalah sahabat yang agung Suhaib bin Sanan Ar-rumi. Semasa kecilnya, beliau tinggal di kota Iraq, di istana bapaknya yang menjabat menteri pada kerajaan Farsi yaitu sebagai Hakim Al-Ubullah –salah satu negeri bagian di iraq-, beliau keturunan Arab yang bernama An-Namr bin Qasith, kemudian mereka hijrah ke Iraq sejak lama dan hidup bahagia dengan harta yang berlimpah dari kekayaan orang tuanya selama beberapa tahun lamanya.

Suatu hari, Romawi menaklukkan kota Al-Ubullah, lalu mereka menawan keluarganya dan menjadikan mereka sebagai budak, sehingga mereka hidup sebagai budak Arab di tengah masyarakat Romawi, baliaupun belajar bahasa mereka, dan tumbuh dewasa dengan tabiat dan kultur mereka, lalu tuannya menjual beliau pada seseorang yang berasal dari kota Mekkah bernama Abdullah bin Jad’an, maka beliaupun belajar dari tuannya yang baru akan seni berniaga, sampai dia pandai dalam berniaga. Dan ketika Abdullah bin Jad’an melihat beliau sebagai pemberani, pintar dan ikhlas dalam bekerja, beliaupun membebaskannya.

Ketika cahaya Islam bersinar di kota Mekkah, Suhaib merupakan orang yang paling cepat menyambut seruan kebenaran, beliau pergi ke Dar el-Arqom, dan mengiklankan Keislamannya di hadapan Rasulullah saw. Namun demikian, beliau tidak lepas dari siksaan kaum musyirikin Mekkah, tapi beliau tetap bersabar dan teguh dengan pendiriannya; hanya karena mengharap ridla Allah dan cinta kepada Rasulullah saw.

Ketika Nabi saw berhijrah ke Madinah menyusul para sahabat yang telah berhijrah lebih dahulu, Suhaib belum berhijrah, diapun keluar untuk menyusulnya namun kafir Quraisy menghalangi dan menahan beliau untuk berhijrah; mereka menganggap bahwa kekayaan Suhaib bukanlah milik dirinya, karena saat pertama datang ke kota Mekkah dirinya dalam keadaan menjadi budak yang miskin, maka dia tidak berhak keluar dari Mekkah dengan membawa harta dan kekayaannya. Namun, bagi Suhaib jika alasannya demikian adalah sangat ringan, karena dihadapannya harta tidak berharga sama sekali di banding dengan agama yang dianutnya, maka diapun setuju untuk meninggalkan harta yang dimilikinya, jika dirinya dibiarkan pergi dan mereka mengambil hartanya. Lalu Suhaib memberitahukan tempat hartanya disimpan sehingga mereka mendapatkannya seperti yang disampaikan, karena Suhaib tidak pernah berbohong atau berkhianat.

Suhaib adalah seorang pedagang yang pintar dan cerdas, beliau menjual dengan harta dan jiwanya guna mendapatkan ridlo Allah SWT, maka diapun mendapatkannya dan berhak mendapatkan penghargaan orang Romawi yang mendapatkan kemenangan dalam Islam, dan berhak seperti yang diriwayatkan dari Rasulullah saw :”Suhaib penakluk negeri Romawi”. (HR. Ibnu Sa’ad).

Suhaib juga ikut serta dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah saw, beliau berkata : “Tidak ada peperangan sedikitpun yang dilakukan Rasulullah saw kecuali saya ikut bersamanya. Tidak ada bai’ah yang dilakukukan oleh Rasulullah kecuali aku juga ikut di dalamnya. Tidak ada sirriyah (ekspedisi) sedikitpun kecuali saya ada didalamnya. Tidak ada penaklukan sedikitpun kecuali aku ada di sebelah kiri atau kanannya Rasulullah saw. Tidak ada ketakutan sedikitpun dihadapan mereka kecuali aku ada dihadapan mereka dan tidak di belakang mereka kecuali aku ada di belakang mereka. Dan tidak ada perlakuan bersama Rasulullah saw antara aku dan musuh sedikitpun sampai beliau meninggal kecuali aku berada disisinya”.

Jihad beliau terus berlanjut hingga masa khilafah Abu Bakar, Umar dan Utsman bin Affan, dan beliau adalah prajurit pemberani. Sebagaimana juga beliau memiliki perangai yang mulia, dermawan, suka memberi makan, berinfaq. Suatu hari umar bercerita tentangnya : “Jika tidak karena tiga perangai yang ada dalam dirimu wahai Suhaib, aku tidak menghadirkan seorangpun atasmu, aku melihat engkau begitu condong pada Arab padahal lisanmu adalah ajam –non arab-, dijuluki Abu Yahya dan boros terhadap harta”. Suhaibmenjawab : “Borosnya saya adalah saya tidak mengeluarkannya kecuali sesuai dengan haknya, julukan terhadapnya dengan Abu Yahya karena Rasulullah telah memberikan julukan ini kepadaku maka aku tidak akan melepasnya, adapun kecondongan saya kepada Arab karena Romawi telah merawatku saat aku kecil maka aku ambil bahasa mereka –kuasai-, padahal aku adalah berasal dari suku Namr bin Qasith”.

Umar mengenal Suhaib akan kelebihan dan kedudukannya, saat beliau ditikam beliau berpesan agar dirinya dishalatkan dengan imam Suhaib sampai 6 sahabat ahli syuro menyutujuinya sebelum beliau meninggal; hendaknya ada yang dipilih diantara mereka.

Suhaib juga memiliki akhlak yang baik, memiliki pribadi yang luwes dan suka bercanda, diriwayatkan bahwa beliau pernah datang ke masjid sementara salah satu dari matanya sedang sakit, beliau mendapatkan Rasulullah saw dan sahabatnya sedang duduk di masjid dan di hadapannya ada buah kurma, maka beliaupun ikut dan makan bersama mereka. Maka nabi pun berkata kepadanya : “Engkau makan buah kurma sementara matamu sedang sakit ? Suhaib berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengunyah dengan bagian lain (maksudnya : aku memakan dengan salah satu mata yang sehat). (HR. Ibnu Majah), maka Rasulullah saw pun tersenyum.

Dalam hidupnya Suhaib selalu ikut serta dalam berbagai peperangan hingga terjadi fitnah besar, kemudian beliau mengisolasi diri dan menghindar dari fitnah, beliau melakukan ibadah hingga akhir hayatnya. Dan Suhaib wafat pada tahun 38 H pada usia 73 tahun, dan dimakamkan di Baqi.

Suhaib banyak meriwayatkan hadits nabi saw, sementara para sahabat lainnya dan para tabiin banyak meriwayatkan hadits dari beliau.

Oleh : Akur WIjayadi, Ketua Tutorial PAI FISE UNY

POSITIVENESS dan AKIBAT MELUBANGI KAPAL

Positiveness perseorangan merupakan sesuatu yang terpuji jika dituangkan dalam positiveness jamaah. Kharizma perseorangan merupakan tuntutan jika memberi sumbangan dalam membangun kharizma organisasi. Dalam rangka mempersofikasi nilai-nilai ini, Rasulullah SAW menyuguhkan perumpamaan indah kepada kita yang menggambarkan adanya tanazu’ (tarik menarik, kontradiksi) antara positiveness perseorangan dan positiveness jamaah. Beliau juga menyuguhkan ‘ilaj nabawi yang mujarab yang meleburkan egoisme perseorangan ke dalam kemanfaatan organisasional, yang bertolak dari munthalaq tarbawi yang memberikan hak pribadi secara sempurna dan tanpa dikurangi, namun sekaligus menggebuk tangan pribadi itu dengan kuat jika thumuhat (obsesi)-nya menjadi besar yang berakibat melampaui legalitas jamaah dan hak jamaah dalam merealisasikan hasil-hasil umumnya.

Empat Peringatan:

Tidak ada seorang pun hidup di alam ini sendirian, walaupun ia dipenjara seorang diri di dalam sebuah sel gelap. Setiap individu hendaklah memahami bahwa Allah SWT menciptakan manusia agar saling ta’aruf (mengenal), ta’awun (bantu membantu), tadhamun (solider) dan sebagian mereka memberikan khidmah (pelayanan) kepada yang lain.

Sebagian manusia terhadap yang lainnya

Baik Arab maupun non Arab

Saling memberikan khidmah

Walaupun tidak mereka rasa

(Sebagaimana pernyataan seorang penyair)

Hanya saja, sebagian individu mempunyai ego berlebih, mereka selalu merasa –menurut diri mereka sendiri- yang terbaik, paling afdhal, paling pinter, dan paling berhak –dibanding yang ada- untuk menjadi qiyadah, pelopor, memberi kesaksian, dan memimpin, termasuk kalau saja kapasitas mereka belum sampai pada level berbagai tanggung jawab ini, bahasa hal-nya selalu mengatakan –di mana pun- pernyataan yang pernah dilontarkan oleh professor filsafat egoisme, yaitu Iblis saat mengira bahwa unsur api lebih baik daripada unsur tanah, maka ia berkata, “aku lebih baik dari padanya (Adam AS), Engkau ciptakan aku dari api, sementara Engkau ciptakan dia (Adam AS) dari tanah”. [Al-A'raf: 12], [Shad: 76].

Termasuk walaupun ia tidak memaksudkan khairiyah (sisi unggul kebaikan)-nya dalam arti unsur, sebab ia meyakini dalam dirinya al-khairiyah al-hadhariyyah (sisi kebaikan peradaban) yang memberinya kelayakan untuk memunculkan berbagai cara kreatif dalam menyelesaikan berbagai problem dan melewati berbagai aqabat (rintangan) sebagaimana yang “diusulkan” oleh salah seorang penumpang kapal yang digambarkan dalam hadits Nabi SAW, yaitu dari An-Nu’man bin Basyir RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Perumpamaan seseorang yang komitmen berada dalam batas-batas Allah dan yang terperosok ke dalamnya adalah semisal satu kaum yang mengundi pada sebuah kapal, maka sebagian mereka mendapatkan tempat di bagian atas kapal dan sebagiannya mendapatkan bagian di bagian bawah kapal. Orang-orang yang berada pada bagian bawah kapal, jika mengambil air mesti melewati orang-orang yang berada di bagian atas, lalu mereka berkata: ‘kalau saja kita membuat lubang pada jatah kita, sehingga kita tidak mengganggu yang di atas kita’, maka, jika mereka membiarkan maksud membuat lubang itu, niscaya seluruh penumpang kapal akan celaka, dan jika mereka memegang tangan yang bermaksud membuat lubang itu, niscaya mereka yang membuat lubang selamat dan selamat pula seluruh penumpang kapal”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika berbagai riwayat hadits ini kita himpun –dengan perbedaan redaksinya, namun tetap menegaskan satu makna- kita akan melihat satu “kanvas kenabian” yang indah yang memuat puluhan pelajaran tarbawi yang hari ini sangat kita perlukan, namun, saya hanya akan memberikan isyarat kepada empat pelajaran saja yang secara langsung mempunyai hubungan dengan tema ijabiyah, sementara pelajaran-pelajaran lain kita tinggalkan terlebih dahulu sampai datang momentumnya yang tepat pada kesempatan yang lain.

Pelajaran I: Anda Menjadi Penumpang Bersama Kami

Ya, semua kita adalah musafir, dan semua kita adalah penumpang sebuah kapal. Sangat tidak logis kalau kapal itu tidak memiliki nakhoda. Dan menjadi suatu bentuk kegilaan dan kepandiran jika nakhoda kapal itu lebih dari satu, “Jika di langit dan di bumi ada banyak Tuhan selain Allah, hancur binasalah langit dan bumi itu”. Dan sudah menjadi sunnatullah, musafir itu berbeda-beda kelasnya, kelas I, II, III dan kelas terakhir. Posisinya pun juga berbeda, ada yang di depan, belakang, sisi kanan, sisi kiri, tengah, di atas dan di bawah. Service dan fungsinya juga berbeda, ada nakhoda, pembantu nakhoda, penanggung jawab kenyamanan penumpang, distributor koran, makanan dan minuman, security, pengatur lalu lintas perjalanan di dalam kapal, … dst.

Ada juga penumpang yang memanfaatkan waktu luang perjalanan untuk “menjual” berbagai hadiah. Ada juga yang memanfaatkan keberadaan “beberapa tokoh terkenal” untuk berkenalan dengan mereka, tukar menukar kartu nama, nomor telepon, dan alamat tinggal. Ada juga yang sedang bernasib mujur, maka ia dapatkan seorang “tetangga” yang merupakan peluang seumur hidup, lalu ia tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dan seterusnya.

Yang penting, semua itu tadi adalah logis dan dapat diterima, dan semua itu merupakan tabiat sebuah perjalanan dan konsekuensi dari ta’aruf dan manfaat lain dari sebuah perjalanan.

Hanya saja ada sebagian penumpang yang memiliki ego berlebih yang melampaui semua hal yang wajar dan maqbul tadi, di mana ia melakukan berbagai percobaan untuk memaksakan “keinginannya” kepada semua penumpang, termasuk kepada kru kapal. Upaya-upaya kekanak-kanakan ini seringkali tampil dalam berbagai bentuk, namun, intinya sama, yaitu: mengganggu kenyamanan kehidupan orang-orang yang sedang bepergian. Di antara bentuk-bentuk ini ialah:

• Percobaan menyusup ke dalam kabin kendali untuk mengganggu nakhoda dan berusaha ikut terlibat dalam mengendalikan kapal, pertama dengan cara ngledek sang nakhoda sebagai pimpinan yang gagal …
• Berusaha menempati kursi yang bukan haknya, misalnya ingin menduduki kelas I. tujuannya adalah untuk menciptakan kekacauan dalam organisasi kapal. Juga untuk menanamkan kesan negatif terhadap kemampuan pengelola kapal dalam menunaikan hak kepada yang empunya .. dan juga dalam menempatkan penumpang sesuai dengan kelasnya ..
• Berusaha melubangi kapal untuk mengambil air dengan mudah dari bawah kakinya, agar ia tidak capek-capek naik turun untuk keperluan air ini …
• Mondar mandir secara mencolok di antara para penumpang, berjalan ke sana kemari, menimbulkan berbagai suara gaduh, mengarang berbagai cerita dan mengobral berbagai isu untuk menciptakan kekacauan di tengah-tengah penumpang, dan terkadang sampai ke tingkat menciptakan tasykik (keraguan) tentang keselamatan kapal, atau tasykik tentang kemampuan dan kecakapan sang nakhoda dan kru-nya, atau tasykik terhadap peta perjalanan, arah yang dituju, posisi dan tujuan .. yang intinya adalah mengesankan kepada para penumpang bahwa perjalanan yang ditempuh telah mengalami inhiraf (penyimpangan) dari jalur yang seharusnya ditempuh … dst.

Banyak upaya dilakukan, yang terpenting bagi kita adalah nash (teks) yang ada dalam hadits nabi yang menjadi kajian kita, yang intinya adalah bahwa pemilik gagasan “membuat lubang” lupa bahwa ada ribuan penumpang bersama dengannya dalam point yang disebutnya jatah-nya itu. Padahal, kursi yang Anda duduki bukanlah milik Anda secara utuh. Dan Anda tidak memiliki kebebasan mutlak yang bisa seenaknya menyelonjorkan kaki, sehingga mengganggu yang di belakang Anda, depan Anda, dan samping Anda, yang mana mereka juga memiliki “hak” atas lokasi yang telah disediakan untuk setiap penumpang.

Hadits nabi menyatakan, “Lalu mereka berkata: ‘kalau saja kita membuat lubang pada jatah kita…’. Pertanyaannya: adakah seorang penumpang bersama jamaah mempunyai jatah? Khusus dalam sebuah kendaraan perjalanan? Dan apakah seseorang yang tanggung jawabnya adalah menakhodai kapal, mencukupkan diri dengan sekedar memegang kendali kemudi, menginjak pedal gas dan ream? Adakah orang yang bertanggung jawab atas makanan dan minuman penumpang cukup membagikannya kepada kelas I saja? Adakah termasuk hikmah jika para penumpang mendiamkan saja sikap orang-orang yang ingin melubangi kapal, lubang pada titik yang diyakininya sebagai jatah-nya itu dengan alasan supaya tidak mengganggu penumpang yang di atasnya atau yang berada di sampingnya?

Jawaban atas berbagai pertanyaan ini datang dalam sebuah kalimat yang sangat mendalam dari sang murabbi pertama, yaitu Rasulullah SAW, saat beliau bersabda, “ maka, jika mereka memegang tangan yang bermaksud membuat lubang itu, niscaya mereka yang membuat lubang selamat dan selamat pula seluruh penumpang kapal”

Subhanallah!!

• Mereka telah menyelamatkannya, dengan cara memegang tangan yang bermaksud membuat lubang dan mencegahnya melakukan pelubangan. Dan dengan cara ini, mereka telah menyelamatkan diri mereka, dengan sebuah kerja ta’awun
• Namun, jika mereka diam (membiarkan), mungkin karena takut, atau tamak, maka pembiaran ini akan mencelakakan sang pelaku pelubangan dan berdampak pula bagi kecelakaan yang lainnya, sebab mereka menumpang di kapal yang sama

Tidakkah sudah saya katakan: Kita ini menumpang satu kapal? Tidakkah telah aku katakan: Pukul tangan setiap orang yang bermaksud membuat lubang dalam kapal, maka, dengan memukul ini akan terwujudlah kemaslahatannya dan kemaslahatan semua penumpang?! Kemudian yang terakhir, tidakkah telah aku katakan kepada pemilik gagasan melubangi kapal: Bahwa kami menjadi penumpang bersamaku wahai saudaraku, dan engkau pun menjadi penumpang bersama kami wahai saudaraku!

Pelajaran II: Mas-ul Perjalanan Tidak Sama Dengan Penumpang

Ada perbedaan mencolok antara mas-ul perjalanan dengan penumpang.

Bagi penumpang, yang terpenting baginya adalah tiga hal asasi, sebab ia inilah haknya, sedangkan selebihnya bersifat tambahan

1. Yang terpenting baginya adalah mendapatkan kenyamanan dalam perjalanan, baik dari sisi rehat maupun service.

2. Yang terpenting baginya adalah semua haknya terpenuhi, dimulai dari hak atas tempat duduknya yang sah

3. Yang terpenting baginya adalah sampai ke tujuan dengan selamat dan membawa keberuntungan

Jika pengelola perjalanan berbaik hati memberikan tambahan service, lalu mereka memberikan berbagai hadiah, peta negara tujuan, bantuan money changer, alamat berbagai hotel dan tempat-tempat wisata dan budaya … dst, maka semua ini lebih baik dan menarik simpati pelanggan baru, dan bisa jadi hal ini menjadi model iklan yang membuat sang pengelola semakin populer dan menjadi pilihan penumpang untuk perjalanan selanjutnya, jika mereka terus menjaga kualitas pelayanan yang bagus ini.

Jika semua hal di atas adalah hak setiap penumpang, maka perlu diketahui bahwa penumpang juga memiliki kewajiban. Di antaranya: menghormati tata tertib dan aturan biro perjalanan dan cara kerjanya. Terlebih lagi adalah menghormati orang-orang yang mengorganisir perjalanan mereka dan juga kepada mereka yang memberikan pelayanan kepada seluruh penumpang. Juga kepada mereka yang bertanggung jawab atas kenyamanan dan keamanan perjalanan mereka … agar aspek keamanan dan kenyamanan dapat direalisasikan

Jika muncul dari para penumpang –walaupun dari kelas I- orang yang bermaksud merubah dirinya dari sekadar penumpang dan ingin menjadi pemilik kapal, atau ingin menjadi penanggung jawab perjalanan, sementara para pengelola kapal dan para penanggung jawab kapal dan penumpangnya diam … mendiamkan perilaku para penumpang yang bermaksud demikian tadi, niscaya akan terjadi kekacauan pada kapal, urusan menjadi bercampur baur tidak jelas, dan jadilah nasib setiap penumpang terancam tenggelam. “Dan jika mereka membiarkan orang yang bermaksud melubangi kapal itu, niscaya para penumpang kapal akan binasa, dan binasa pula mereka yang membuat lubang itu”.

Adapun kewajiban para penanggung jawab perjalanan, yaitu 3 hal tersebut di atas yang menjadi hak para penumpang, ditambah dengan dua kewajiban lainnya, sehingga totalnya menjadi lima kewajiban, yaitu:

1. Menciptakan suasana yang menyenangkan selama perjalanan, baik dari sisi rehat (kenyamanan) maupun service

2. Memberikan hak setiap penumpang, baik dari sisi tempat duduk, makanan, minuman dan istirahat.

3. Mengantarkan seluruh penumpang ke tempat tujuan.

4. Menegakkan kedisiplinan yang semestinya dan menciptakan iklim saling menghormati di antara sesama penumpang dan kru kapal

5. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan perjalanan, baik dalam cara mengemudikan kapal serta interaksi yang baik terhadap semuanya.

Namun, lima kewajiban ini harus diimbangi dengan berbagai hak, yang dengan hak-hak ini akan terciptalah suasana perjalanan yang baik, serta memberikan jaminan keamanan dan keselamatan. Di antara hak terpenting dan paling mendesak bagi pihak kru kapal adalah hendaklah setiap penumpang komitmen dengan etika perjalanan, sebab, hampir semua serikat perjalanan di seluruh dunia melarang para penumpang untuk merokok sepanjang perjalanan, sebab hal ini mengganggu para penumpang. Dan beda jauh antara gangguan yang ditimbulkan oleh asap rokok dengan gangguan yang disebabkan oleh asap fitnah!

Pelajaran III: Masyarakat Islam itu Salimus-Shadr

Kita semua berada dalam satu kapal. Bagi kita, kapal itu “milik” bersama. Karenanya, kewajiban kita yang pertama adalah menjaga kapal ini dari khuruq (infiltrasi), syuquq (perpecahan), tsuqub (lubang-lubang) dan segala upaya irbak (kekacauan), za’za’ah (mengguncang ketsiqahan) dan tasykik (upaya untuk menanamkan keraguan). Hal ini diperlukan dalam rangka menjamin terwujudnya dua sasaran besar:

1. Mengamankan perjalanan dari segala ancaman, internal dan eksternal.

2. Menjaga kapal itu sendiri dari segala bentuk khuruq atau tsuqub

Biasanya, dalam Suatu Perjalanan, Ada 3 Tipe Manusia:

1. Orang-orang yang berdiri tegak pada batas-batas Allah SWT. Bagi mereka yang terpenting adalah mashlahat umum. Semangat mereka adalah keselamatan seluruh penumpang dan keamanan mereka. Juga keselamatan dan keamanan kapal dan kru-nya. Karena inilah kita dapati mereka:

a. Tetap berjaga saat semua orang tidur. Menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.
b. Bersemangat untuk menempatkan penumpang sesuai dengan kedudukannya.
c. Mengedepankan dan menyuguhkan berbagai pelayanan semestinya demi kenyamanan dan keselamatannya..

Tidak ada yang diinginkan dari balik semua ini, baik balasan maupun ucapan terima kasih.

2. Orang-orang yang memaksakan kehendaknya kepada seluruh penumpang, seakan-akan kapal itu adalah “milik babenya”, sementara yang lainnya mereka pandang sebagai perompak atau pencari uang. Penilaian paling mendingan dari kelompok ini terhadap para penumpang adalah “‘abiru sabil” (orang-orang yang numpang lewat). Karena inilah sepanjang perjalanan, mereka ini berjalan hilir mudik ke sana ke mari, menciptakan suasana tidak nyaman dalam kehidupan para penumpang dengan berbagai tindak tanduk yang tidak ada hubungannya dengan adab-adab perjalanan

3. Orang-orang yang diam mencari selamat. Mencoba bersikap baik dengan para kru kapal dan bersikap baik pula kepada kelompok kedua. Mereka berdiam “sabar” terhadap pihak kru di satu sisi dan terhadap perilaku kelompok kedua di sisi yang lain, sambil menunggu datangnya solusi dalam waktu dekat.

Sebenarnya, ijabiyah tidak menerima sikap “damai” dan “berbaik-baik” kecuali dalam tempo yang singkat saja, sehingga menjadi jelas, mana benang putih dan mana benang hitam. Dan sehingga diketahui hakikat dan niat kru kapal maupun kelompok kedua yang mengacau itu. Bahkan, keselamatan semua penumpang berawal dari disiplin setiap penumpang untuk duduk sesuai dengan tempat yang masih tersedia, atau sesuai dengan nomor tiket yang dibawanya, atau sesuai dengan hasil “kocok atau undi”, sebagaimana yang disebut dalam hadits, “Sesungguhnya ada satu kaum yang mengundi naik kapal”, dengan demikian, setiap tempat duduk itu menjadi definitif berdasar ketentuan “kocok atau undian”, maka, hendaklah setiap penumpang menghormati legalitas “kocok atau undian” dan ridha terhadap cara Allah SWT membagi kepadanya, sehingga kapal akan sampai daratan dengan aman.

Pelajaran IV: Titanic dan Gunung Es

Titanic adalah sebuah kapal besar. Namun, gunung es yang ada di bawahnya lebih besar. Gunung es ini telah menghancurkan kapal besar tersebut. Ini maknanya:

1. Kekuatan kapal, betapa pun ia, tidak boleh menjadikan pemiliknya terkena ghurur, lalu melajukan kapal di lautan secara membuta tanpa memprediksikan berbagai kemungkinan mendadak, di mana kekuatan itu tidak akan mampu bertahan di hadapannya. Sebab ghurur itu musuh kekuatan. Bersandar pada sarana secara menyeluruh tanpa memberi perhatian yang semestinya kepada aqidah tawakal kepada Allah, ujung-ujungnya sangatlah menyedihkan.

2. Ghaflah dari Allah SWT, bersantai-santai di atas kursi yang empuk dalam perjalanan kehidupan yang berjalan dalam hembusan angin yang baik, tidak akan berlangsung lama. Sebab, setelah angin baik tersebut akan datang badai yang membangunkan semua yang tidur, mengingatkan yang lalai, serta mencekokkan banyak pelajaran keras bagi mereka yang kegirangan dengan perhiasan dunia dan kelezatan kehidupan yang mereka miliki. Dan hal ini adalah sunnatullah pada hamba-hamba-Nya, “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan, sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata, (mereka berkata), “Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kelaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. (Q.S. Yunus: 22 – 23)

Subhanallah ..

Inilah tabiat manusia, tidak berubah, tidak berganti dan tidak berpaling dari gaya intihazi (opportunis)-nya:

- Jika angin berhembus baik, mereka bergembira dengannya.

- Jika datang angin badai, mereka panik terhadap apa yang terjadi

Jika terkepung oleh gelombang dari berbagai penjuru, mereka ingat Allah (mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata, (mereka berkata), “Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”). (Yunus: 22).

- Jika Allah SWT berikan keselamatan, keamanan dan lolos dari mara bahaya, mereka lupa “baiat”-nya kepada Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat kepadamu (wahai Muhammad) pada hakikatnya mereka berbaiat kepada Allah” (Al-Fath: 10), mereka melepaskan perjanjian mereka, berlepas dari komitmen mereka untuk bersyukur dan mengakui nikmat Allah, dan mereka bergerak di muka bumi dengan berbagai “proyek” pelanggaran hak, “ Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kelaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. (Yunus: 23)

Hasilnya sudah dapat ditebak, sebagian orang mengetahuinya dan sebagiannya lagi tidak mengetahuinya. Atas mereka tertimpa berbagai bencana di dunia, dan pada hari kiamat, hisab mereka di sisi Allah SWT sangatlah sulit, “Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kelalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kelalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Yunus: 23)

Simpulan:

Dari kisah agung ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa:

1. Setiap tempat duduk penumpang, telah ditentukan oleh hasil qur’ah (undian)
2. Setiap penumpang dalam organisasi kapal, hendaklah menerima apa pun hasil undian itu.
3. Setiap penumpang hendaklah menempati tempat duduknya sesuai dengan yang telah ditetapkan Allah SWT untuknya dan sesuai dengan angka undian yang didapatkannya dalam sebuah proses undian yang bebas.
4. Setiap penumpang hendaklah komitmen dengan adab bepergian, demi terjaminnya kenyamanan bersama
5. Sesama penumpang hendaknya saling menghormati, menghargai yang berada di atas dan juga yang berada di bawah.
6. Setiap penumpang bekerja sama dalam menggebuk tangan seseorang yang bermaksud membuat lubang kapal – sebuah perbuatan yang didasarkan pada ijtihad yang salah, namun ia menduga bahwa dengan ijtihad-nya ini ia telah berbuat baik kepada yang berada di atas dan yang berada di bawah—sebab, tidak semua ijtihad bisa diterapkan. Jika prinsip ini tidak dipahami, maka kita akan terperosok kepada ijtihad seekor beruang yang ingin mengusir lalat yang menempel di wajah anaknya, namun ia mengusirnya dengan melemparkan batu besar ke arah wajah anaknya itu (dalam sebuah kisah yang populer).

Ijabiyah yang jelas terdapat dalam kisah tarbawi yang indah ini terdapat dalam sabda Rasulullah SAW, “’kalau saja kita membuat lubang pada jatah kita, sehingga kita tidak mengganggu yang di atas kita’”. Jadi, niatnya baik, yaitu ingin menghindari gangguan, hanya saja, akibatnya sangat-sangat fatal jika semua penumpang lainnya tidak memukul dengan kuat tangan-tangan yang berusaha membuat lubang di dalam kapal, sebab yang akan binasa bukan hanya nakhoda dan kru-nya, akan tetapi, seluruh kapal akan tenggelam dengan seluruh isinya, termasuk seluruh penumpangnya.

Siapa saja yang mendengar hadits ini dan menyaksikan film Titanic, ia tidak memerlukan lagi seorang pemberi mauizhah yang berkata kepadanya, “Sesungguhnya lubang satu jarum akan mampu menenggelamkan kapal segede Titanic”.

Dan bahwasanya diamnya para penumpang yang membiarkan sang pembuat lubang di dalam kapal, yang bisa jadi “dengan niat baik” itu, adalah sikap salbi (pasif) yang akibatnya juga fatal, yaitu binasanya seluruh penumpang, baik yang melubangi, maupun yang dibuatkan lubang.

oleh : Akur Wijayadi, Ketua Tutorial PAI FISE UNY

Palestina, Kita, Cinta


Bukan!Saya bukan akan membahas mengenai sejarah yang melatari pembantaian saudara-saudara kita di Palestina oleh Yahudi, ataupun tentang perkembangan yang terjadi di Palestina sekarang ini. Sama sekali bukan. Banyak media lain yang tentu sumbernya lebih shahih dan teruji. Hanya tiga hal yang akan ditemui saat antum membaca tulisan saya ini. Saya hanya akan mengungkapkan isi hati saya tentang Palestina, kita, dan cinta.

Apa yang antum pikirkan saat mendengar Palestina? Izinkan saya bercerita tentang itu. Saat mendengar kata Palestina, dalam imajinasi, saya melihat sekumpulan bocah belia melempari tank-tank Yahudi dengan batu, mungkin Tank yang sama yang telah menghancurkan tubuh orang tua mereka, ataupun Tank yang hari-hari lalu telah merobohkan sekolah mereka. Atau mungkin Tank yang sama yang akan mengantar mereka pada syahid indah mereka suatu saat. Saya juga melihat seorang ibu yang menitikan air mata haru saat menyaksikan jasad hancur putra ke-5 nya yang menyongsong syahid di bawah rentetan peluru, haru karena apa yang ia tanamkan kepada putra-putranya telah tertunaikan.

Ketika anak-anak kecil di Indonesia dimanja dengan mainan terbaru, dididik untuk menjadi orang yang sukses, maka mainan anak-anak palestina adalah kerikil dan peluru, dan kesuksesan mereka adalah syahid di jalan Alloh. Ketika ibu kita menangisi luka-luka kecil kita dulu, maka ibu-ibu Palestina telah merelakan anak-anak mereka syahid bahkan sebelum mereka dilahirkan. Dan anak-anak Palestina, di antara dentuman bom dan rentetan peluru tetap menjalankan kewajiban mereka. Hafidz Al Qur’an pada usia 8 bukan merupakan hal yang menakjubkan.

Sungguh ilustrasi saya di atas bukan imajinasi semata. Cobaan yang mereka alami jauh lebih mengerikan dari yang bisa kita bayangkan. Saya sempat berbangga atas respon orang-orang beberapa waktu lalu. Banyak pihak yang mengecam agresi yang terjadi di Gaza. Kepekaan masyarakat Indonesia ternyata tidak sedangkal yang saya bayangkan. Namun saya sedikit kecewa, karena kini tak lagi ada dukungan kepada Palestina seperti saat itu. Kepekaan ternyata memiliki tenggat waktu, saat isu tak lagi dianggap hangat, kepekaanpun menguap. Padahal agresi kemarin hanyalah sedikit dari kedzoliman-kedzoliman yang dialami saudara kita di Palestina sejak bertahun-tahun lalu, dan mungkin bertahun-tahun yang akan datang. Itulah permasalahan kita. Kepekaan kita hanya sebatas kulit ari, kita menganggap mereka bukanlah bagian dari kita.

Siapakah kita? Kita berarti saya dan antum semua. Orang pertama dan orang kedua yang diajak berbicara. Dalam kita ada kebersamaan, sepenanggungan. Kita berarti apa yang saya rasakan, antum juga rasakan. Begitu juga sebaliknya. Ketika ada kalimat ”kita akan bekerja bakti” artinya baik saya, antum, dan siapapun yang mendengar akan bekerjabakti. Maka ketika berbicara mengenai Palestina bukankah akan lebih indah jika menganggap mereka bagian dari kita. Lantas jika mereka menderita, kita akan merasa sakitnya, dan kita akan berusaha bersama untuk menyembuhkannya. Bukankah setiap mukmin bersaudara? Bukankah kita tak akan betah melihat penderitaan saudara kita?

Berbicara tentang kita tak lengkap rasanya jika tak membahas tentang cinta. Cinta yang membuat sulit menjadi mudah, berat menjadi ringan, sedih menjadi bahagia. Benar kata Ustadz Salim A. Fillah, cinta akan lebih bermakna apabila ia adalah kata kerja. Dengan itu kita mengisi cinta dengan kerja, dengan keringat, air mata dan bahkan darah.

Maka begitulah seharusnya. Cinta kepada Alloh, tak kan membuat kita berat terjaga disepertiga malam terakhir. Cinta kepada Rosululloh akan membuat kita merasa ringan untuk menjalankan sunnah-sunnahnya, dan cinta kita kepada saudara kita akan membuat hati kita tergerak untuk menghapus air matanya, menanggung bebannya.

Palestina, kita, cinta seharusnya tak menjadi kata yang terpisah-pisah. Makna yang berbeda-beda. Tak terlihatkah oleh kita Palestina membutuhkan kita? Tak terbersitkah oleh kita rasa cinta pada perdamaian, keadilan yang telah lama tak mereka rasakan?

Maka sudah saatnya untuk menyatukan ketiga kata yang telah lama terpisah menjadi satu kalimat sarat makna. Kalimat yang akan mengalirkan energi dahsyat dalam tubuh kita. Mulailah saat ini, hapuslah pemisah antara kata Palestina, kita dan cinta dan kita rangkai menjadi Palestina kita cinta. Maka tak berat lagi kita cegah tubuh kita mengkonsumsi barang yang menyumbang satu peluru yang akan merobek-robek tubuh saudara kita. Sudah saatnya kita buktikan kata kerja ”cinta” kita.

Palestina kita cinta.
wallohu'alam bishowab

oleh : Rizky Amalia Fajri, Kadept KPT Tutorial FISE UNY