
Bukan!Saya bukan akan membahas mengenai sejarah yang melatari pembantaian saudara-saudara kita di Palestina oleh Yahudi, ataupun tentang perkembangan yang terjadi di Palestina sekarang ini. Sama sekali bukan. Banyak media lain yang tentu sumbernya lebih shahih dan teruji. Hanya tiga hal yang akan ditemui saat antum membaca tulisan saya ini. Saya hanya akan mengungkapkan isi hati saya tentang Palestina, kita, dan cinta.
Apa yang antum pikirkan saat mendengar Palestina? Izinkan saya bercerita tentang itu. Saat mendengar kata Palestina, dalam imajinasi, saya melihat sekumpulan bocah belia melempari tank-tank Yahudi dengan batu, mungkin Tank yang sama yang telah menghancurkan tubuh orang tua mereka, ataupun Tank yang hari-hari lalu telah merobohkan sekolah mereka. Atau mungkin Tank yang sama yang akan mengantar mereka pada syahid indah mereka suatu saat. Saya juga melihat seorang ibu yang menitikan air mata haru saat menyaksikan jasad hancur putra ke-5 nya yang menyongsong syahid di bawah rentetan peluru, haru karena apa yang ia tanamkan kepada putra-putranya telah tertunaikan.
Ketika anak-anak kecil di Indonesia dimanja dengan mainan terbaru, dididik untuk menjadi orang yang sukses, maka mainan anak-anak palestina adalah kerikil dan peluru, dan kesuksesan mereka adalah syahid di jalan Alloh. Ketika ibu kita menangisi luka-luka kecil kita dulu, maka ibu-ibu Palestina telah merelakan anak-anak mereka syahid bahkan sebelum mereka dilahirkan. Dan anak-anak Palestina, di antara dentuman bom dan rentetan peluru tetap menjalankan kewajiban mereka. Hafidz Al Qur’an pada usia 8 bukan merupakan hal yang menakjubkan.
Sungguh ilustrasi saya di atas bukan imajinasi semata. Cobaan yang mereka alami jauh lebih mengerikan dari yang bisa kita bayangkan. Saya sempat berbangga atas respon orang-orang beberapa waktu lalu. Banyak pihak yang mengecam agresi yang terjadi di Gaza. Kepekaan masyarakat Indonesia ternyata tidak sedangkal yang saya bayangkan. Namun saya sedikit kecewa, karena kini tak lagi ada dukungan kepada Palestina seperti saat itu. Kepekaan ternyata memiliki tenggat waktu, saat isu tak lagi dianggap hangat, kepekaanpun menguap. Padahal agresi kemarin hanyalah sedikit dari kedzoliman-kedzoliman yang dialami saudara kita di Palestina sejak bertahun-tahun lalu, dan mungkin bertahun-tahun yang akan datang. Itulah permasalahan kita. Kepekaan kita hanya sebatas kulit ari, kita menganggap mereka bukanlah bagian dari kita.
Siapakah kita? Kita berarti saya dan antum semua. Orang pertama dan orang kedua yang diajak berbicara. Dalam kita ada kebersamaan, sepenanggungan. Kita berarti apa yang saya rasakan, antum juga rasakan. Begitu juga sebaliknya. Ketika ada kalimat ”kita akan bekerja bakti” artinya baik saya, antum, dan siapapun yang mendengar akan bekerjabakti. Maka ketika berbicara mengenai Palestina bukankah akan lebih indah jika menganggap mereka bagian dari kita. Lantas jika mereka menderita, kita akan merasa sakitnya, dan kita akan berusaha bersama untuk menyembuhkannya. Bukankah setiap mukmin bersaudara? Bukankah kita tak akan betah melihat penderitaan saudara kita?
Berbicara tentang kita tak lengkap rasanya jika tak membahas tentang cinta. Cinta yang membuat sulit menjadi mudah, berat menjadi ringan, sedih menjadi bahagia. Benar kata Ustadz Salim A. Fillah, cinta akan lebih bermakna apabila ia adalah kata kerja. Dengan itu kita mengisi cinta dengan kerja, dengan keringat, air mata dan bahkan darah.
Maka begitulah seharusnya. Cinta kepada Alloh, tak kan membuat kita berat terjaga disepertiga malam terakhir. Cinta kepada Rosululloh akan membuat kita merasa ringan untuk menjalankan sunnah-sunnahnya, dan cinta kita kepada saudara kita akan membuat hati kita tergerak untuk menghapus air matanya, menanggung bebannya.
Palestina, kita, cinta seharusnya tak menjadi kata yang terpisah-pisah. Makna yang berbeda-beda. Tak terlihatkah oleh kita Palestina membutuhkan kita? Tak terbersitkah oleh kita rasa cinta pada perdamaian, keadilan yang telah lama tak mereka rasakan?
Maka sudah saatnya untuk menyatukan ketiga kata yang telah lama terpisah menjadi satu kalimat sarat makna. Kalimat yang akan mengalirkan energi dahsyat dalam tubuh kita. Mulailah saat ini, hapuslah pemisah antara kata Palestina, kita dan cinta dan kita rangkai menjadi Palestina kita cinta. Maka tak berat lagi kita cegah tubuh kita mengkonsumsi barang yang menyumbang satu peluru yang akan merobek-robek tubuh saudara kita. Sudah saatnya kita buktikan kata kerja ”cinta” kita.
Palestina kita cinta.
wallohu'alam bishowab
oleh : Rizky Amalia Fajri, Kadept KPT Tutorial FISE UNY
0 komentar:
Posting Komentar